Dahulu kala di tanah Dairi, ada sebuah negeri namanya Urang Julu. Negeri ini, wilayahnya luas, dan penduduknya juga banyak.
Di sanalah keluarga Ompu Tuan Simbolon hidup. Dia mempunyai 7 orang putra, dan nama-nama ke- 7 putranya itu, mulai dari yang sulung sampai yang bungsu, yaitu: Simbuyak-buyak, Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anak Ampun (Nakampun).
Anak yang paling sulung, yaitu Simbuyak-buyak tubuhnya cacat sejak lahir, tulang belakangnya sangat lemah, karena itu dia tidak bisa berdiri, apalagi berjalan seperti adik-adiknya. Melihat keadaan sisulung yang demikian, orangtua mereka dengan sangat bijaksana menasehati anak-anaknya.
“Manusia menginginkan dirinya sempurna, dan baik, tetapi Tuhan Pencipta lebih berkuasa dan lebih menentukan. Jika Dìa mau, kesempurnaan tubuh kitapun bisa dikuranginya, dan jadilah kita seperti abangmu itu. Oleh karena itu, walau begitu keadaan abangmu, dia tetap yang tertua di antara kalian, dan kalian harus menghormatinya, karena dia juga merupakan ciptaan Tuhan. Jika hal itu tidak kalian lakukan, maka kalian akan berdosa menurut pandangan Tuhan Maha Pencipta, karena telah membeda-bedakan ciptaannya”, katanya menasehati anak-anaknya.
Nasehat itupun mereka patuhi, dan ketujuh bersaudara itu hidup rukun dan damai.
Waktu tetap berputar, usia merekapun meningkat dewasa, dan sebagaimana biasanya di tanah Dairi, bila anak-anak sudah meningkat dewasa mereka harus merantau mencari nafkah untuk hidup. Bermacam-macam pekerjaan yang bisa merdka lakukan saat itu. Salah satu pekerjaan yang paling diminati orang saat itu adalah mencari kapur baru ke hutan, karena harga kapur barus sangat mahal, hampir setara dengan harga emas saat itu.
Demikian, keenam adik Simbuyak-buyak sudah sepakat dan bertekad hendak merantau mencari kapur barus. Ketika Simbuyak-bunyak mengetahui rencana adik-adiknya, diapun minta ikut serta bersama mereka. “Kalian ikutkanlah aku, setidak-tidaknya aku bisa menjaga gubuk, ketika kalian pergi ke hutan mencari kapur barus”, katanya kepada adik-adiknya. Merekapun setuju, dan jadilah berangkat ketujuh bersaudara itu.
Perjalan yang harus mereka tempuh sangat jauh, kurang lebih memakan waktu dua hari dua malam, ditambah lagi jalannya sangat sulit, melalui hutan, lembah dan pegunungan. Apalagi sepanjang perjalanan, mereka harus bergantian menggendong Simbuyak-buyak, dan di tempat tertentu yang sulit, mereka kadang menandu abangnya secara bersama-sama.
Bersambung =>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar